Senin, 20 November 2017
Rasa itu masih ada
Senja tak begitu cerah sore ini. Terkalahkan oleh keberadaan rintik hujan yang sedikit demi sedikit berhasil mengenai jalan. Orang-orang terlihat berlarian menuju tempat yang dapat menaunginya dari sang hujan. Memang tak begitu lebat, namun dapat membuat jas yang dikenakan seorang pegawai kantoran terlihat basah. Ditengah rintik hujan yang damai dan dibawah naungan halte bus yang hamper penuh, aku bergeming. Menatap setiap orangyang tengah berteduh satu atapdenganku. Tatapanku kini tertuju kepada seseorang pemuda jangkung berambut agak ikal. Terlihat dari baju yang ia kenakan, membuatku tersenyum karena waktu hamper petang anak SMA seperti dia belum juga melepas seragamnya, atau bahkan ia belum kembali kerumahnya. Itu semua mengingatkanku akan masa-masa silam yang begitu sulit dan terpaku dibenakku.
Aku hanyalah anak pinggiran yang besar dan tumbuh diantara para pekerja yang tak pernah dipedulikan oleh pemerintah. Bahkan mereka tak pernah sadar, bahwa gedung pemerintah, perusahaan-perusahaan, sampai rumah mereka sendiri pun tak akan pernah berdiri kokoh tanoa bantuan wargakecil seperti kami. Ya, bapakku seorang buruh kuli, sedangkan ibuku seorang pedagang kecil-kecilan. Aku sebagai anak sulung bertanggung jawab atas keberadaan dua orang adikku. Hidup yang apa adanya membuatku menjadi seseorang yang tahan banting. Membuatku menjadi manusia dewasa walau hanya mungkin lebih dewasa dari mereka yang kecukupan. Sampai sekarang satu wejangan yang memantapkan langkahku untuk terus berjuang masih terus kuingat.
“Gas… jangan takut bermimpi untuk jadi orang besar. Walau kau ini terlahir dari bibit orang kecil, tapi babpak yakin kamu ini bibit unggulan yang nantinya bakal jadi orang unggulan juga. Jadi apapun kamu nanti, jangan lupakan orang kecil Gas, karena kamu ini juga dari orang kecil”
Perkataan bapak dibawah rembulan itu bagai penyulut cahaya dalam hidupku. Mulai kutanamkan kuat-kuat dalam jiwaku, kelak aku akan menjadi orang besar. Ya Rabb… kuatkan azzamku ini dan ridhoilah di setiap langkahku.
***
Pagi itu sang surya begitu percaya diri menampakkan batang hidungnya. Awanpun tak mau kalah dengan penampilannya yang begitu menawan. Langit tampak begitu sempurna ditemani kepakan sayap burung yang tengah menikmati indahnya pagi ini. Aku bangga dengan diriku, tinggal selangkah lagi aku dapat menyandang almamater SMA terbaik didaerahku. SMA yang berhasil aku bobol dengan usaha dan sedikit kecerdasanku yang kuturuni dari bapak, ibu, kakek, atukah nenekku, aku tak tau. Yang pasti kali ini semua siswa kelas akhir sedang ricuh membicarakan rencana kedepan mereka. Rangga, teman baikku ingin masuk fakultas management-bisnis guna melanjutkan perusahaan ayahnya. Fikri, teman sebangkuku yang memang terkenal ahli IT ingin melanjutkan studi ipteknya di jepang. Aku bahagia, karena memiliki teman-teman hebat seperti seperti mereka . aku terdiam ketika giliranku yang harus berbagi rencana. Tak ada sedikitpun rasa untuk tidak kuliah. Aku hanya teringat kenanganku dengan adikku suatu malam.
“Mas, kamu ini kan sudah dari SMP ke SMA, terus habis SMA mau kemana?” tanyanya dengan kepolosan khas anak kecil.
“kuliahlah dik…”tukasku penuh keyakinan.
“kuliah??? Memangnya bapak punya uang buat mas kuliah?”
Degg… perkataan itu bagai anak panah yang menghujani hatiku. Bagai petir yang menyambar pikiranku. Sambaran yang berhasil membuatku sadar bahwa aku harus mendapatkan beasiswa. Karena hanya itu yang dapat membuatku terus melangkah dalam meraih ilmu yang kuinginkan. “Ya Izzati… berikanlah anugerahMU disetiap detik perjuanganku.”
Dengan keyakinan dan tekad yang kumiliki, serta usaha dan doĆ” yang selalu kupinta padaNya. Akhirnya aku dapat menyandang status mahasiswa tanpa sepersen rupiah yang harus kukeluarkan. Dan seperti perjalanan kehidupan biasanya. Disinilah aku mulai mengenal rasa yang membuatku bimbang. Rasa tak berdaya didunia ini. Inilah cinta, ya… cinta. Cinta yang tanpa kuhendaki pada seseorang gadis berjilbab lebar nan anggun. Mahasiswi fakultas kedokteran itu mampu membiusku dari pandangannya yang teduh. Namun, walau tak sedikit kumbang yang terpikat oleh keindahannya, ia seolah bunga yang menatap rapat kelopaknya. Enggan berbagi keindahan yang ada. Sikapnya yang begitu cuek membuatnya terlihat berbeda dimata kaum adam, ak terkecuali dimataku. Bahkan dimataku, ia adalah sosok wanita sempurna nan solihah.
“sulit sekali menjadi pendampingnya kriterianya begitu tinggi, segi agama maupun materi pun harus memadai.” Kata seorang pengagumnya suatu saat. Nyaliku mulai ciut untuk mendapatkan hatinya. Karena aku sadar akan seberapa modal yang kumiiki. Walau sekuat tenaga aku menghilangkan rasa itu. Namun rasanya kian tumbuh dan kian membesar seiring seiring berjalannya waktu. Karena keputusasaan akan usaha penghilang rasa itu, akhirnya aku putuskan bahwa rasa ini biarlah terus berada dengan sendirinya. Walau tak pernah kuungkapkan padanya. Ia dapa mengetahui rasaku padanya sebagaimana perkataan salah satu temanku. Tapi sudahlah, biarlah rasa ini akan terus kubawa hingga penghujung perjalananku menjadi mahasiswa. Ya Muqollibal Qulub… andai kata taka da harapan lagi atas cintanya, hapuskanlah rasa ini dari hatiku. Namun andai ada harapan akan cintanya, jagalah rasa ini berada tetap dihatiku. Walau harapan-harapan itu hanya seperti tetesan embun dipagi hari.
***
Hujan mulai reda, malam hari kian larut. Satu persatu orang meniggalkan halte bus yang sempat aku kunjungi. Rembulan nan bintang tak tampak menghiasi langit malam. Hari terasa semakin gelap ketika kususuri jalan setapak yang sering kulalui hanya uuntuk sekedar melepas penat. Satu kebiasaan yang tak pernah kutinggalkan, karena bagiku jalanan malam menawarkan begitu banyak fantasi-fantasi kehidupan yang dapat menenangkan fikiran. Setenang hidupku kali ini. Lihatlah bapak, aku adalah anakmu, anak seorang buruh kuli. Lihatlah ibu, aku adalah anakmu anak seorang pedagang. Namun, kini aku yakin, senyuman kini telah menghiasi wajah mulia kalian. Wajah yang dulu selalu tersenyum ketika aku berdiri tegak meraih harapanmu. Wajah yang selalu menangis ketika aku tak berdaya. Tangan kalian, tangan yang selalu menghapus air mataku ketika aku menangis. Tangan yang selalu memberiku pelukan hangat ketika ku terjatuh. Namun terkadang aku mengutuk waktu karena terlalu cepat memisahkan kita. Bahkan aku mengutuk ruang yang telah membedakan kita diruang yang berbeda. Namun yang pasti… saksikanlah ayah…
Telah aku buktikan bahwa aku, bagas prayoga seorang anak buruh kuli, seorang anak pedagang telah menjadi generasi hebat dambaan umat, generasi penggugah semangat. Seorang motivator, penulis, sekaligus direktur yang terlahir dari Rahim orang kecil. Seseorang yang sukses dari keterbatasan. Kesuksesan yang berangkat dari mimpi, tekad, usaha do’a, dan keyakinan bahwa aku pasti bisa. Dan kini rasa itu masih ada…
~MUHAMMAD GHAZY RAZAN~
1 A PAI
Langganan:
Komentar (Atom)