Jumat, 11 November 2016

Hari Pahlawan

Dua Bapak Bangsa dan Sang Revolusioner




Aku lihat segerombolan orang menyalahkan orang paling berpengaruh itu, memerintahkanya agar segera mengumandangkan pernyataaan kebebasan didepan publik lokal, dunia internasional. Orang-orang itu berlaku tidak sopan terhadap pemuda minang itu, pemuda yang sangat dihormati oleh para bangsawan dan negarawan mancanegara sebab nasab dan kecerdasannya. 
Keponakan dari Mak Etek ayub(pedagang ulung dan pengamat sosial-ekonomi pada masanya) yang pernah berangkat ke Rotterdam-Belanda untuk belajr akademi dan menjadi aktivis pergerakan di sana. Termasuk memimpin organisasi pelajar dari Tanah Air di Eropa, Perhimpunan Indonesia(menjadi bendahara).  Menjadi orang yang dijauhi banyak orang sebab pernah mendekap dalam ruang tahanan belanda, karna takut dianggap dekat dengan penjajah. 
Namun semua perlakuan itu tak berarti baginya, dalam anggapannya perjuangan akan terus ada, sampai kapanpun selama penjajahan itu masih ada maka akan terus ada pula tokoh-tokoh pergerakan bahkan tanpa di usung oleh seorang pemimpin. Katanya “Pergerakan rakyat timbul bukan karna pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan” .Sebab perkataan itu, dia dan sahabat perjuangannya(putra hindia-belanda yang lahir di blitar) dituduh orang sebagai penghasut, namun kedua bapak bagsa itu membalas “hari siang bukan karena ayam berokok, tetapi ayam berkokokk karena hari mulai siang” . 
Dari perkataannya itu, dengan cepat ku ambil tindakan mencerna kata. Bahwa pergerakan tidak semata-mata hadir, atau pun tanpa arah. Tetapi sebab keadaan sekitar yang mulai membutuhkan pergerakan, butuh revolusi dan pahlawan. Menurutku lagi pergerakan adalah bagian dari sejarah, dan sejarah adalah perjuangan sebagian orang yang namanya terlupakan. Sejarah akan terulang, tidak sama persis seperti yang telah terlupakan sebelumnya. Kini dengan tokoh, tempat, waktu yang


 sama. Namun tidak pada situasi, tersebut jadi peran utama dalam hal ini, situasi yang memotori lahirnya pergerakan. 
Namanya Mochammad Athar, tokoh yang kukisahkan sekilas perjalanan hidup dan keluarganya serta karakternya sebagai penggagas. Mulai dari organisasi, koperasi dan proklamasi apalah itu. Yang jika dia masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang , Mohammad Athar hanya perlu mencetak ulang tulisannya pada tahun 1962 
“Dimana-mana orang merasa tak puas, Pembangunan tak berjalan sebagaimana mestinya... perkembangan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah. Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya: Dikatator”. 
Hatta, nama pahlawannya. Yang menggemari penulis barat sebagai inspirasi sastranya, pengasah ketajaman penanya. diantaranya Karl Max, Bakunin dan Dostojevski. Yang membantu Hatta dalam usaha mencari bentuk dekorasi yang paling sesuai bagi negara nasional modern yang multietnis dan multisejarah. 
Hatta adalah sedikit dari pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap bangsa Indonesia. Seolah-olah ingin mengompensasi tubuhnya yang mungil, berkacamata dan gaya bicaranya yang tidak menarik karena sedikit retorika. Namun dia memiliki kekuatan menulis, baginya pena adalah senjata untuk memerdekakan bangsanya. 
Tetap menulis dan menjadi pengkritik elite pemerintah kolonial, yang menjadi penyebab ia ditahan pada 1927. Namun lagi tak membuat penanya tumpul, di penjara hatta tetap menulis. Disinilah dia memulai tulisan “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka), tulisan ini pun menusuk dan menikam uluh hati pemerintah kolonial. 
Penulis pun mengajak kepada pembaca, agar meniru jejak Hatta sebagai pahlawan, yang bergerak dalam tulisannya. Perlu diketahui juga, bahwa tulisan adalah sejata terhebat melebihi salvo manapun dalam konteks menyuarakan pendapat. 

Beralih ke satu tokoh, sesorang yang juga masuk kedalam bagian orang-orang yang disalahkan, Sebab lambatnya melaksanakan deklarasi kemerdekaan, pernyataaan kebebasan didepan publik lokal, dunia internasional untuk segera meghilangkan warna biru dari bendera merah putih. Pemuda jawa yang ketika menjadi pemimpin sangat disayangi rakyatnya, tempat rakyat berlindung dari gabasnya perlakuan belanda di balik jas nya yang gagah, tempat rakyat menyampaikan keluh kesah, pendengar setia dan simpatisan penderitaan rakyat, sebab itu dia digelari sebutan Penyambung Lidah Rakyat 
“Dia yang dipilihkan sejarah dengan tidak asal-asalan. Mengenang masa kecil lewat autobiografinya, ia bercerita “ibunya memangku bayi sukarno yang masih berusia dua tahun, menghadap ke timur, dan ketika fajar merekah meramalkannya kelak akan jadi pemimpin besar. Putra Sang Fajar. 
Berteman mesra dengan para ulama, kyai surau dan tokoh-tokoh revolusi lainnya seperti Tjokroaminoto yang rumahnya dijadikan dapur revolusi. Salah satu hobinya adalah diskusi sambil merokok, bukan obrolan tengil melainkan wacana tentang perihal pembebasan, Islamisme, Sosialisme, Nasinalisme dan Marxisme. Tidak lain untuk memerangi Kristen(belanda) dan paham kapitalisme-imperialisme. 
Dia yang impian besarnya terhambat oleh gertakan meja-meja hijau belanda atas tuduhan pemberontakan dan agitasi terhadap seluruh rakyat untuk melawan belanda, mengalami masa tahan selama 2 kali(red: dua tahun) sehingga membuat ghiroh pergerakan-politik nya redup pada belanda. Ada sebuah surat berisi permintaan maaf sukarno terhadap belanda; “Sukarno tampak benar-benar sudah memutuskan karir baru. Tidak politik tetapi tetap berbau panggung” . Walau surat tersebut dianggap masif oleh sebagian ahli sejarah dan budaya, tetapi jika benar itu tetap menunjukkan wujud bahwa orang sekelas sukarn pun  turunnya ghiroh sebagai tokoh revolusi. 
Bersama Hatta dia kembali ingin mewujudkan impiannya, kemerdekaan. Walau hubungan nya tidak terjembatani karena pebedaan taktik dalam mencapai tujuan. 
“Hatta lebih ingin menggugah kesadaran nasional lewat pendidikan politik yang radikal, lewat menjadi kader partai, dengan anggota yang militan untuk menciptakan , beribu-ribu bahkan berjuta-juta sukarno. Dia mengkritik sukarno yang hanya cenderung mengumpulkan banyak kerumunan dengan satu sukarno ditengahnya”. 
Namun menurut penulis, kekuatan kata-kata dari seseorang digdayawan walau tak setimpang dengan kekuaatan tulisan, setidaknya bisa juga membangkitkan kobaran semangat kerumunan. Sehingga membuat masa yang mendengar dalam genggamannya, semua pandangan mengikuti gerak indah mulutnya dalam bertutur kata lalu tergugah jiwanya seakan sang orator berhasil mengeluarkan kata-kata yang selama ini dipendam dan sulit sekali disuarakan oleh orang-orang. Lagi-lagi Penyambung Lidah Rakyat. 
Bermodal keterampilannya klasiknya dalam berpidato, pada tahun 1942 dia mengerahkan puluhan bahkan ratusan ribu pemuda untuk bergabung dalam barisan Romusha,sistem kerja paksa zaman penjajahan jepang yang menguras tenaga rakyat dengan upah yang sangat minim bahkan tidak mendapat upah semata-mata untuk mencapai satu tujuan, yaitu “menang perang”. Banyak juga tenaga Romusha yang mati sebab kelaparan dan tidak mendapat pelayanan kesehatan, tetapi bukan menjadi kekhawatiran jepang karena Indonesia menjamin banyak sekalii sumber daya manusia pada saat itu. 
Banyak dari Romusha itu terdiri dari anak-anak muda yang sukarela mengerahkan sepenuh dirinya untuk jepang hanya karena propaganda psikologis “intik kemakuran bersama Asia Timur Raya” . Bahkan banyak juga diantara mereka orang keturunan cina,arab dan india berangkat dari kantor Hokokai(Jawa) ke jakarta, dari mereka sebagian telah berumur 60 tahun. Sehingga di puji “kuat seperti anak muda” 
Sukarno namanya(disebut bung karno). Yang merasa sedih ketika mengingat kenangan itu. 
Berkata “Akulah yang menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Dalam setiap peperangan pasti ada korban tugas seorang panglima adalah memenangi perang. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan.” 
Menurut penulis, bukan langkah yang sakah dilakukan oleh bung karno. Kala itu demi menarik simpati jepang, dia mengorbankan ribuan jiwa untuk bekerjmaa dengan jepang sebagai mesin tanpa biaya. Setelah itu memperoleh simpati jepang untuk membantu Indonesia dalam mencapai status merdeka, dengan risiko ribuan nyawa yang dikorbankan. Sama seperti kasus Harry Truman, membunuh ribuan jiwa dan merusak 2 kota sekaligus, Hiroshima dan Nagasaki. Tetapi berkenaan dengan itu juga dapat menghentikan perang Asia Pasifik(yang kerusakannya lebih besar). 


Sekilas cerita tentang dua tokoh yang disebut Bapak Bangsa dan Pahlawan Revolusi. Bung Karno dengan kekuatan pidato nya dengan tutur kata yang indah dan menggelora, dapat membakar semangat dan kecintaan terhadap tanah Air kepada ribuan masa lewat kata-katanya. Sedangkan Bng Hatta, penulis ulung yang berjuang lewat ketajaman pena, yang lebih menusuk dengan mutakhir lebih dari salvo manapun. Dengan pena juga dia berusaha untuk menyampaikan aspirasi serta ilmu,gagasan hasil bacaannya serta membuka pikiran rakyat tentang kejelasan arah bangsa Indonesia. Pena, senjata utama guna memerdekakan bangsanya. 

"Masa remaja Hatta tidak semata-mata diisi dengan urusan ilmu dan agama. Sebagai anak muda, dia juga menemukan kesenangan hidup, joie de vivre"

Rizqi Wijaya, Kabupaten Tangerang 
09 November 2016 

DAFTAR PUSTAKA 
Arif, Zulkifli. SUKARNO PARADOKS REVOLUSI INDONESIA. Jakarta: PT. GRAMEDIA. 2016. 
Arif, Zulkifli. HATTA JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN. Jakarta: PT. GRAMEDIA. 2016. 
kumpulanbiografiindonesia.blogspot.co.id (wikipedia).

Senin, 17 Oktober 2016

Rindu Sosok Seorang Pahlawan



Rindu Sosok Seorang Pahlawan yang Tak Pernah Lelah
(IBU)
Oleh: IMMawan M. Bayu Yusup Permana (Staff Bidang Keilmuan IMM FAI)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Tak pernah lelah hati ini untuk merindukan sosok seorang pahlawan yang tak pernah lelah. Kau adalah sosok wanita yang paling kuat di Dunia ini. Kau telah mengajarkan ku apa arti dari sebuah kehidupan ini. Kau memang memiliki kedekatan emosionalitas terhadap diriku. Didikanmu, perjuanganmu, kebaikanmu, kesederhanaanmu, keceriaanmu, kegigihanmu, kedisiplinanmu, menjadikan ia menempati posisi istimewa dalam kehidupanku, yakni sebagai pahlawan dan guru di kehidupanku.
Kau tak pernah lelah menasehatiku, walaupun aku sering tidak patuh apa katamu, tapi kau tidak marah padaku, malah kau tersenyum dan mendekatiku sambil mengelus rambutku.
Sosok sepertimu tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Kedudukan atau posisimu juga tidak dapat bisa digantikan oleh siapa pun. Tidak bisa digantikan oleh sosok seorang ayah, bahkan oleh sosok ibu baru. Karena kita telah terikat secara emosional semenjak aku dalam kandungan. Ikatan emosional itulah yang membuat kelak akan bertemu denganmu di surga. Ikatan emosional itulah yang akan mengikat batinku pada kasih sayang serta pada kerinduanmu. Bahkan ikatan emosional itulah yang selalu mengalirkan pahala untukmu atas kebaikan yang aku lakukan untukmu.
Ikatan emosional itu telah tertanam sejak aku masih berupa zygot, bahkan lebih awal dari zygot. Ikatan itu tertanam, terpupuk hingga tumbuh subur dalam sanubari ku sampai aku lahir menjadi anak yang selalu di harapkan kelahirannya.
Tubuh, darah, daging, dan tulang ini semua terlahir atas rasa cintamu hingga menjadi anak yang kau harapkan. Satu sel saja dalam tubuhku menggambarkan kecintaanmu kepadaku.
Bahkan kau pernah berkata kepadaku “Biar kepala di jadikan kaki, dan kaki di jadikan kepala”, itu semua kau lakukan agar melihat anaknya sukses.
”Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibu telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada Akulah kau kembali”. (QS.Luqman {31}: 14)

Yakni begitu besar perjuanganmu, kau mengandungku selama sembilan bulan, membawaku kemana-mana selama aku masih dalam kandungan. Kau tak pernah lelah selama mengandungku sembilan bulan, padahal perutmu sakit tapi kau tak peduli dengan rasa sakit itu, itu kau lakukan demi anaknya sehat di dalam kandungan.
Sembilan bulan pun berlalu, kini kau merasakan sakit perut yang luar biasa. Pertanda aku akan dilahirkan. Saat inilah nyawamu dipertaruhkan. Hanya ada dua pilihan, hidup atau mati, ketika detik-detik kelahiranku, kau dengan sekuat tenaga mendorong dengan otot-otot perutnya agar aku lahir dengan selamat. Jika terlambat sedikit saja, maka aku akan kepanasan di dalam perutmu.
Rahimmu yang kecil, tetapi demi persalinan, kau relakan rahimnya mengembang hingga lima ratus kali lipat dari ukuran semula. Hal itu dilakukan demi kandungannya keluar. Kau harus rela menguras darahnya lima ratus milliliter akibat persalinan. Harus menahan rasa sakit yang luar biasa yang setara patahnya dua puluh tulang sekaligus. Satu hal yang ada dipikiranmu saat itu, “Bagaimana caranya agar aku bisa lahir dengan selamat.” Ia tidak lagi memikirkan dirinya, padahal bisa saja maut tiba-tiba menghampirinya.
Semua rasa sakit dan lelah setelah melahirkan terbayar dengan suara tangisanku yang berhasil keluar dari rahimmu. Itulah suara tangisku. Yang hanya dengan tangisku saja sudah mampu menghilangkan rasa sakitmu, apalagi dengan senyum dan tawaku.
Marilah kita berbakti pada ibu-bapak kita, mulai detik ini juga. Hampirilah ibu-bapakmu, peluklah mereka, dan ciumlah sambil mengucapkan kata-kata maaf kepada mereka. Mintalah ampun atas kesalahan dan kelancangan kita selama ini pada mereka. Ciumlah kening mereka sebagai tanda kau masih menyayangi mereka. Pasti ibu-bapak kita akan memaafkan semua kesalahan kita selama ini.
Billahi fii sabilil haq Fastabiqul Khairat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Rabu, 12 Oktober 2016

Pengemban Gelar Intelektual

Mengemban Tanggung Jawab Sebagai Pemilik Gelar Intelektual
Sebagai Refleksi atas Pertanyaan yang Meresahkan
Oleh: IMMawan Rizqi Wijaya (Kepala Bidang Keilmuan IMM FAI)

Awal Mengenyam Dunia Perkuliahan
Awalnya saya beranggapan bahwa definisi Mahasiswa adalah seorang pemuda yang memasuki perguruan tinggi dan berusaha keras untuk mendapatkan gelar sarjana. Logis memang, dan sangat kontekstual. Mengasyikan ketika kita berkutat dengan tugas-tugas kuliah, menunggu kehadiran dosen tanpa jaminan datang atau tidak, masuk kelas dengan ekspetasi dapat meraup ilmu sebanyak-banyaknya, dari rumah punya niat awal untuk bertemu teman-teman sekelas.
Beberapa pekan hanya duduk di kelas, diam patuh mendengar arahan dosen, berhadapan dengan kontrak belajar perkuliahan yang seperti memenjarakan kita dengan sangsi-sangsinya, belum lagi dengan banyak tugas makalah serta diskusi diskusi panel yang mengisi bagian depan ruang kelas yang kosong.
 Kuda berlari kencang karena sang says memecutnya dengan keras, sama persis seperti apa yang terjadi pada saya saat itu. Ada pertanyaan yang mencambuk naluri dan mengaruti nalar orang yang kritis “Apa bedanya Mahasiswa dengan Siswa?.” Pertanyaan yang mudah tapi sulit dijawab, di peruntukan kepada orang orang yang mulai memakan bangku perkuliahan.
            Fakta lapangan, apa yang terjadi di dunia perkuliahan semakin membuat saya berontak. Apakah sesempit ini makna mahasiswa? Duduk manis dikelas, memasang telinga rapi-rapi hanya untuk mendengarkan dosen, berdandan wangi dan berambut klimis hanya untuk menarik perhatian dari kawan jenis di kelas? Miris, terlebih kepada diri sendiri yang hanya mampu uring-uringan. Belum mampu lontarkan kata-kata kritis untuk perbaikan.
            Bukti otentik mulai menguatkan, ketika sesi diskusi menampar seluruh mahasiswa di kelas, saat salah satu kelompok maju kedepan untuk mempertanggung jawabkan karya tulisnya berupa makalah lalu di presentasikan kepada seluruh mahasiswa di kelas. “Mahasiswa adalah kaum Intelektual, berfungsi sebagai penyelesai berbagai permasalahan di masyarakat”. Kata salah satu dosen pada sesi diskusi. Apanya yang  menampar? Bahkan itu hanya kata-kata penuh realita dan bersifat persuatif, mengajak mahasiswa untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap masyarakat setelah lulus nanti.


Sampai di kenalkan dengan IMM
            Dua bulan berada di perkuliahan, masih tetang pertanyaan yang sama. Apa bedanya siswa dengan mahasiswa? Lalu apanya yang Intelektual? toh dua-duanya sama saja, sama-sama berada di kelas, sama-sama mendengarkan guru/dosen, sama-sama belajar dengan buku. Dimana letak Intelektualnya? Ah sama saja, dosen itu pendusta. Mereka hanya melebih-lebihkan Instansi mereka, berbangga diri dengan gelarnya sebagai pengajar para Intelektual(red:cendikiawan).
            Sampai akhirnya dikenalkan dengan sebuah organisasi yang para aktivisnya berjas merah, jargon nya “Anggun dalam moral, unggul dalam intelektual, radikal dalam pergerakan”. Lalu di akhir kalamnya mereka berkata “Billahi Fii Sabiilil Haq Fastabiqul Khoirot” yang membuat saya bertanya-tanya, dengan landasan apa merka berani menggunakan huruf Ba Qosam di akhir kalamnya dan itu merupakan sumpah atas nama Allah.
            Dialog Mahasiswa, rekrutisasi pertamanya. Mengajak mahasiswa fakultas agama Islam untuk mengikuti dialog yang mengenalkan kepada IMM, banyak mahasiswa yang tertarik karena acara itu, bagaimana tidak para pembicaranya adalah orang-orang hebat, para demisioner PK IMM FAI. Namun setelah dialog panjang membahas Trilogi dan Tri kompetesi masih belum juga bisa menjawab perbedaan mahasiwa dengan siswa, karna bukan disitu tempatnya.
            Sampai akhirnya mengikuti Daarul Arqom dasar, pengenalan lebih jauh tetapi tetap mendasar tentang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.  Di paksa harus memakan semua materi yang diberikan selama 3 hari 2 malam. Tetapi belum juga bisa memberi jawaban atas pertanyaan. Ternyata diharuskan mencari kata kunci dari jawaban dan mengembangkan sendiri definisi Intelektual menurut paradigma diri sendiri. Walau belum menemukan jawaban yang terpenting saya sudah mendapat gelar “kader” IMM.
Semoga gelar pertama sebagai IMMawan inilah yang menjadi wasilah atas pencerahan apa arti, tugas, serta fungsi Intelektual.
            Telah kutemukan jati diri menjadi Kader sebagai fungsionaris Organisasi. Memungsikan diri ini untuk terus melakukan perbaikan lewat acara-acara dialog kemahasiswaan/kebangsaan, diskusi, kajian, sampai rihlah ilmiah ke kediaman para ayahanda (red: dosen).


September 2016 peristiwa bersejarah, PK IMM FAI komisariat ku adalah satu-satunya komisariat yang mengadakan sekolah Ideologi dan Organisasi Untuk memahamkan para kader nya tentang ideologi, cita-cita, visi IMM untuk Islam Indonesia berkemajuan. Menempati pola sempit kedudukan materi-materi pada saat itu di pikiran kader Kota Tangerang, maka hanya dari internal saja yang mengikuti. Karena menganggap pemahaman atas Ideologi IMM serta keorganisasian adalah sebuah kewajiban dan urgen sifatnya. Sebagai relasi atas keluhan Fungsionaris, mau dibawa kemana Organisasi ini jika kadernya saja tak paham Ideologi nya sendiri.
Bersyukur, setelah sekian masa mencari jawaban atas apa itu Intelektual yang membedakan Siswa dengan Mahasiswa. Saya temukan jawabannya di acara ini melalui proses diskusi panjang. Memahami Misi Muhammadiyah “Membentuk Akademisi Islam yang BerAkhlak Mulia demi Terwujud nya Cita-cita Muhammadiyah”. Elaborator, penyuka kolerasi maka akan mengembangkan pemahaman bahwa cita-cita Muhammadiyah adalah Membebaskan rakyat dari penjajahan politik serta ekonomi yang menyebabkan terjadinya Pemiskinan dan Pembodohan pada Bangsa ini, sekian kata kunci yang saya dapatkan.
Diambil kesimpulan, Ternyata orang Intelektual itu adalah dia yang menggunakan kecerdasannya untuk menjawab permasalahan-permasalahan sosial serta peka terhadap persoalan yang membelenggu kemajuan  bangsa. Dan saat itu juga saya paham bahwa bedanya siswa dengan mahasiswa adalah tentang tanggung jawabnya. Dari sekian banyak persamaan mereka, tapi hanya satu perbedaan, yaitu Mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan persoalan bangsa serta ikut serta juga membangun bangsa dengan berkecimpung di dunia politik.
Ada statement menarik dari salah seorang kader HMI yang dikenal dengan ke-idealisannya. Beliau berkata “Mahasiswa yang hanya berkutat pada diktat perkuliahan dan hanya tertuju pada tugas-tugas kampus, maka itu adalah penghianat Intelektual”.
Pernyataan tersebut bukan bermaksud mengajak kita untuk menjadi mahasiswa yang tak pandai administrasi akademi, tetapi memberikan pencerahan bahwa antara urusan perkuliahan dengan pengembanan tanggung jawab mahasiswa sebagai pemilik gelar intelektual harus harmoni. Berpindah haluan dari yang hanya berkutat pada tungku akademis menjadi pembebas manusia dari 2 penjajahan (Ekonomi dan Politik) dan masalah utama degradasi peradaban (kemiskinan dan Pendidikan yang tertinggal).

Doktrinisasi Paradigma Intelektual Sejati bagi Kader IMM
Sulit memang, mencari sendiri apa arti intelektual sejati. Yang masyarakat awam paham intelektual adalah kecerdasan berfikir, eksak maupun non eksak. Fakta kontekstual, jika berhadapan dengan para kader IMM di kota Tangerang, sulit rasanya menemukan orang yang gemar membaca lalu diskusi, duduk santai sambil meminum kopi sebagai pengantar akan adanya cerita sejarah kelahiran dan Eksistensi IMM..
Kakanda Amirullah dalam bukunya menyebut :
Diskursus mengenai kontruksi model Intelektualisme IMM sebagai upaya mencari bangunan atau arsitektur Intelektual kader IMM dirasa belum banyak dilakukan. Upaya penggalian, pengembangan, hingga pada wilayah mendebatkannya secara konseptual-teoritis khususunya dalam bentuk tulisan bisa dikatakan sagat sepih untuk tidak menyebutnya sama sekali tidak ada[1].
Pendapat saya diperkuat oleh buku tersebut, menjadi kritik-auto kritik bahwa corak gerakan IMM belum mengarah pada konsep-aktualisasi cinta Ilmu. Bahkan untuk berbincang santai mengenai Ilmu atau pergerakan saja masih minim peminatnya.
Mari kita lihat latar belakang sejarah lahirnya IMM berikut ;
Melalui para founding fathernya yang bertujuan ingin melahirkan para anggota atau kader IMM menjadi mahasiswa yang berkualitas, memiliki kekuatan keilmuan, mendasari gerakan pada kajian akademik-ilmiah, dan pada intinya cita-cita para pendiri IMM adalah melahirkan sumber daya manusia berkualitas melalui perkumpulan IMM[2].”
Jika ada kader-kader yang acuh terhadap forum diskusi dan antipati dengan kedekatan terhadap buku-buku. Maka tugas kita sebagai yang paham adalah mencerahkan lalu  menularkan kebiasaan kita, bahwa betapa pentingnya belajar dari sejarah lahirnya IMM yaitu melahirkan kader yang berkualitas dan memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
            Tidak mudah mengarahkan kader kepada konsep cinta ilmu, minimal setiap pertemuan selalu ada diskusi kecil. Misal, pengalaman apa yang didapat sebelum menuju tempat kajian, apa saja berita yang dibaca hari ini. Maka lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan, selalu mengelaborasikan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang disepakati bersama melalui proses diskusi.

Hemat penulis, melalui tulisan ini. Berharap untuk para kader-kader yang membaca bahwa dimanapun, kapanpun tetap menjaga gelar “Intelektualnya”. Mencintai ilmu dan mengaplikasikan ke dalam gerakan sosial nya. Karna yang terpenting bagaimana para kader IMM bisa memperkuat basis Intelektualnya sebelum melakukan aksi sosialnya.[3]
Penulis pun mengajak kepada rekan-rekan agar tetap menulis apapun yang ada di lintasan pikiran. Karna akan melahirkan pola-pola tulisan yang akan berkembang menjadi tulisan yang menyadarkan. Teoritif-aplikatif, membaca lalu mengaplikasikan dalam bentuk menulis. Maka tidak akan sia-sia apa yang kita baca dan apa yang kita diskusikan mati-matian. Karena sejatinya pengikat ilmu adalah pena(melalui tulisan).
 “Abadikanlah ilmu untuk kemanusiaan” ungkap bung karno. Artinya cinta terhadap Ilmu maka akan timbul kesadaran sosial untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Terealisasinya keinginan untuk paham apa itu Intelektual yaitu dengan terjun langsung kepada sumber permasalahannya.
            Semoga tulisan ini menjadi bacaan wajib kader, pra DAD 2016. Sebagai pengantar terhadap pemahaman ke IMMan. Agar setiap pergerakan bercirikan radikal, artinya mendasar. Paham atas dasar-dasar kenapa kita harus berIMM dan mengapa kita harus sadar akan fenomena-fenomena sosial dan berusaha menyelesaikannya di ikatan ini.

Intelektual Muda Berakhlak Mulia
Billahi fii Sabiilil Haq Fastabiqul Khoirot





Tangerang, Oktober 2016
Rizqi Wijaya
(Kepala Bidang Keilmuan PK IMM FAI UMT)

           

Daftar Pustaka
Amirullah. IMM Untuk Kemanusiaan dari Nalar ke Aksi.  Jakarta: CV. MEDIATAMA INDONESIA. 2016.





[1] Amirullah. IMM untuk Kemanusiaan dari Nalar ke Aksi. (Jakarta: CV. MEDIATAMA INDONESIA). h.  72.
[2] Ibid., h. 78
[3] Ibid., h. 74.