Mengemban
Tanggung Jawab Sebagai Pemilik Gelar Intelektual
Sebagai
Refleksi atas Pertanyaan yang Meresahkan
Oleh: IMMawan
Rizqi Wijaya (Kepala Bidang Keilmuan IMM FAI)
Awal
Mengenyam Dunia Perkuliahan
Awalnya saya beranggapan bahwa
definisi Mahasiswa adalah seorang pemuda yang memasuki perguruan tinggi
dan berusaha keras untuk mendapatkan gelar sarjana. Logis memang, dan sangat
kontekstual. Mengasyikan ketika kita berkutat dengan tugas-tugas kuliah,
menunggu kehadiran dosen tanpa jaminan datang atau tidak, masuk kelas dengan
ekspetasi dapat meraup ilmu sebanyak-banyaknya, dari rumah punya niat awal
untuk bertemu teman-teman sekelas.
Beberapa pekan hanya duduk di kelas,
diam patuh mendengar arahan dosen, berhadapan dengan kontrak belajar
perkuliahan yang seperti memenjarakan kita dengan sangsi-sangsinya, belum lagi
dengan banyak tugas makalah serta diskusi diskusi panel yang mengisi bagian
depan ruang kelas yang kosong.
Kuda berlari kencang karena sang says
memecutnya dengan keras, sama persis seperti apa yang terjadi pada saya saat
itu. Ada pertanyaan yang mencambuk naluri dan mengaruti nalar orang yang kritis
“Apa bedanya Mahasiswa dengan Siswa?.” Pertanyaan yang mudah tapi sulit
dijawab, di peruntukan kepada orang orang yang mulai memakan bangku perkuliahan.
Fakta lapangan, apa yang terjadi
di dunia perkuliahan semakin membuat saya berontak. Apakah sesempit ini makna
mahasiswa? Duduk manis dikelas, memasang telinga rapi-rapi hanya untuk
mendengarkan dosen, berdandan wangi dan berambut klimis hanya untuk menarik
perhatian dari kawan jenis di kelas? Miris, terlebih kepada diri sendiri yang
hanya mampu uring-uringan. Belum mampu lontarkan kata-kata kritis untuk
perbaikan.
Bukti
otentik mulai menguatkan, ketika sesi diskusi menampar seluruh mahasiswa di kelas,
saat salah satu kelompok maju kedepan untuk mempertanggung jawabkan karya
tulisnya berupa makalah lalu di presentasikan kepada seluruh mahasiswa di kelas.
“Mahasiswa adalah kaum Intelektual,
berfungsi sebagai penyelesai berbagai permasalahan di masyarakat”. Kata salah
satu dosen pada sesi diskusi. Apanya yang
menampar? Bahkan itu hanya kata-kata penuh realita dan bersifat
persuatif, mengajak mahasiswa untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap masyarakat
setelah lulus nanti.
Sampai
di kenalkan dengan IMM
Dua bulan berada di perkuliahan, masih tetang
pertanyaan yang sama. Apa bedanya siswa dengan mahasiswa? Lalu apanya yang
Intelektual? toh dua-duanya sama saja, sama-sama berada di kelas, sama-sama
mendengarkan guru/dosen, sama-sama belajar dengan buku. Dimana letak
Intelektualnya? Ah sama saja, dosen itu pendusta. Mereka hanya melebih-lebihkan
Instansi mereka, berbangga diri dengan gelarnya sebagai pengajar para
Intelektual(red:cendikiawan).
Sampai
akhirnya dikenalkan dengan sebuah organisasi yang para aktivisnya berjas merah,
jargon nya “Anggun dalam moral, unggul dalam intelektual, radikal dalam
pergerakan”. Lalu di akhir kalamnya mereka berkata “Billahi Fii Sabiilil Haq Fastabiqul Khoirot” yang membuat saya
bertanya-tanya, dengan landasan apa merka berani menggunakan huruf Ba Qosam di akhir kalamnya dan itu
merupakan sumpah atas nama Allah.
Dialog
Mahasiswa, rekrutisasi pertamanya. Mengajak mahasiswa fakultas agama Islam
untuk mengikuti dialog yang mengenalkan kepada IMM, banyak mahasiswa yang
tertarik karena acara itu, bagaimana tidak para pembicaranya adalah orang-orang
hebat, para demisioner PK IMM FAI. Namun setelah dialog panjang membahas
Trilogi dan Tri kompetesi masih belum juga bisa menjawab perbedaan mahasiwa
dengan siswa, karna bukan disitu tempatnya.
Sampai
akhirnya mengikuti Daarul Arqom dasar, pengenalan lebih jauh tetapi tetap
mendasar tentang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Di paksa harus memakan semua materi yang diberikan selama 3 hari 2
malam. Tetapi belum juga bisa memberi jawaban atas pertanyaan. Ternyata
diharuskan mencari kata kunci dari jawaban dan mengembangkan sendiri definisi
Intelektual menurut paradigma diri sendiri. Walau belum menemukan jawaban yang
terpenting saya sudah mendapat gelar “kader” IMM.
Semoga gelar pertama sebagai
IMMawan inilah yang menjadi wasilah atas pencerahan apa arti, tugas, serta
fungsi Intelektual.
Telah
kutemukan jati diri menjadi Kader sebagai fungsionaris Organisasi. Memungsikan
diri ini untuk terus melakukan perbaikan lewat acara-acara dialog
kemahasiswaan/kebangsaan, diskusi, kajian, sampai rihlah ilmiah ke kediaman
para ayahanda (red: dosen).
September 2016 peristiwa
bersejarah, PK IMM FAI komisariat ku adalah satu-satunya komisariat yang
mengadakan sekolah Ideologi dan Organisasi Untuk memahamkan para kader nya
tentang ideologi, cita-cita, visi IMM untuk Islam Indonesia berkemajuan.
Menempati pola sempit kedudukan materi-materi pada saat itu di pikiran kader Kota
Tangerang, maka hanya dari internal saja yang mengikuti. Karena menganggap
pemahaman atas Ideologi IMM serta keorganisasian adalah sebuah kewajiban dan urgen
sifatnya. Sebagai relasi atas keluhan Fungsionaris, mau dibawa kemana
Organisasi ini jika kadernya saja tak paham Ideologi nya sendiri.
Bersyukur, setelah sekian masa
mencari jawaban atas apa itu Intelektual yang membedakan Siswa dengan
Mahasiswa. Saya temukan jawabannya di acara ini melalui proses diskusi panjang.
Memahami Misi Muhammadiyah “Membentuk Akademisi Islam yang BerAkhlak Mulia demi
Terwujud nya Cita-cita Muhammadiyah”. Elaborator, penyuka kolerasi maka akan
mengembangkan pemahaman bahwa cita-cita Muhammadiyah adalah Membebaskan rakyat
dari penjajahan politik serta ekonomi yang menyebabkan terjadinya Pemiskinan dan Pembodohan pada Bangsa ini, sekian kata kunci yang saya dapatkan.
Diambil kesimpulan, Ternyata
orang Intelektual itu adalah dia yang menggunakan kecerdasannya untuk menjawab
permasalahan-permasalahan sosial serta peka terhadap persoalan yang membelenggu
kemajuan bangsa. Dan saat itu juga saya
paham bahwa bedanya siswa dengan mahasiswa adalah tentang tanggung jawabnya.
Dari sekian banyak persamaan mereka, tapi hanya satu perbedaan, yaitu Mahasiswa
dituntut untuk menyelesaikan persoalan bangsa serta ikut serta juga membangun
bangsa dengan berkecimpung di dunia politik.
Ada statement menarik dari salah
seorang kader HMI yang dikenal dengan ke-idealisannya. Beliau berkata
“Mahasiswa yang hanya berkutat pada diktat perkuliahan dan hanya tertuju pada
tugas-tugas kampus, maka itu adalah penghianat Intelektual”.
Pernyataan tersebut bukan
bermaksud mengajak kita untuk menjadi mahasiswa yang tak pandai administrasi
akademi, tetapi memberikan pencerahan bahwa antara urusan perkuliahan dengan
pengembanan tanggung jawab mahasiswa sebagai pemilik gelar intelektual harus
harmoni. Berpindah haluan dari yang hanya berkutat pada tungku akademis menjadi
pembebas manusia dari 2 penjajahan (Ekonomi dan Politik) dan masalah utama
degradasi peradaban (kemiskinan dan Pendidikan yang tertinggal).
Doktrinisasi
Paradigma Intelektual Sejati bagi Kader IMM
Sulit memang, mencari sendiri apa
arti intelektual sejati. Yang masyarakat awam paham intelektual adalah
kecerdasan berfikir, eksak maupun non eksak. Fakta kontekstual, jika berhadapan
dengan para kader IMM di kota Tangerang, sulit rasanya menemukan orang yang
gemar membaca lalu diskusi, duduk santai sambil meminum kopi sebagai pengantar
akan adanya cerita sejarah kelahiran dan Eksistensi IMM..
Kakanda Amirullah dalam bukunya
menyebut :
“Diskursus mengenai kontruksi model Intelektualisme IMM sebagai upaya
mencari bangunan atau arsitektur Intelektual kader IMM dirasa belum banyak
dilakukan. Upaya penggalian, pengembangan, hingga pada wilayah mendebatkannya secara
konseptual-teoritis khususunya dalam bentuk tulisan bisa dikatakan sagat sepih
untuk tidak menyebutnya sama sekali tidak ada[1].”
Pendapat saya diperkuat oleh buku
tersebut, menjadi kritik-auto kritik bahwa corak gerakan IMM belum mengarah
pada konsep-aktualisasi cinta Ilmu. Bahkan untuk berbincang santai mengenai
Ilmu atau pergerakan saja masih minim peminatnya.
Mari kita lihat latar belakang
sejarah lahirnya IMM berikut ;
“Melalui para founding fathernya yang bertujuan ingin melahirkan para
anggota atau kader IMM menjadi mahasiswa yang berkualitas, memiliki kekuatan
keilmuan, mendasari gerakan pada kajian akademik-ilmiah, dan pada intinya
cita-cita para pendiri IMM adalah melahirkan sumber daya manusia berkualitas
melalui perkumpulan IMM[2].”
Jika ada kader-kader yang acuh
terhadap forum diskusi dan antipati dengan kedekatan terhadap buku-buku. Maka
tugas kita sebagai yang paham adalah mencerahkan lalu menularkan kebiasaan kita, bahwa betapa
pentingnya belajar dari sejarah lahirnya IMM yaitu melahirkan kader yang
berkualitas dan memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Tidak
mudah mengarahkan kader kepada konsep cinta ilmu, minimal setiap pertemuan
selalu ada diskusi kecil. Misal, pengalaman apa yang didapat sebelum menuju
tempat kajian, apa saja berita yang dibaca hari ini. Maka lama-kelamaan akan
menjadi kebiasaan, selalu mengelaborasikan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan
yang disepakati bersama melalui proses diskusi.
Hemat penulis, melalui tulisan
ini. Berharap untuk para kader-kader yang membaca bahwa dimanapun, kapanpun
tetap menjaga gelar “Intelektualnya”. Mencintai ilmu dan mengaplikasikan ke
dalam gerakan sosial nya. Karna yang terpenting bagaimana para kader IMM bisa
memperkuat basis Intelektualnya sebelum melakukan aksi sosialnya.[3]
Penulis pun mengajak kepada
rekan-rekan agar tetap menulis apapun yang ada di lintasan pikiran. Karna akan
melahirkan pola-pola tulisan yang akan berkembang menjadi tulisan yang
menyadarkan. Teoritif-aplikatif, membaca lalu mengaplikasikan dalam bentuk
menulis. Maka tidak akan sia-sia apa yang kita baca dan apa yang kita
diskusikan mati-matian. Karena sejatinya pengikat ilmu adalah pena(melalui
tulisan).
“Abadikanlah ilmu untuk kemanusiaan” ungkap
bung karno. Artinya cinta terhadap Ilmu maka akan timbul kesadaran sosial untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Terealisasinya
keinginan untuk paham apa itu Intelektual yaitu dengan terjun langsung kepada
sumber permasalahannya.
Semoga
tulisan ini menjadi bacaan wajib kader, pra DAD 2016. Sebagai pengantar
terhadap pemahaman ke IMMan. Agar setiap pergerakan bercirikan radikal, artinya
mendasar. Paham atas dasar-dasar kenapa kita harus berIMM dan mengapa kita harus
sadar akan fenomena-fenomena sosial dan berusaha menyelesaikannya di ikatan
ini.
Intelektual Muda Berakhlak Mulia
Billahi fii
Sabiilil Haq Fastabiqul Khoirot
Tangerang,
Oktober 2016
Rizqi
Wijaya
(Kepala
Bidang Keilmuan PK IMM FAI UMT)
Daftar Pustaka
Amirullah.
IMM Untuk Kemanusiaan dari Nalar ke Aksi. Jakarta: CV. MEDIATAMA INDONESIA. 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar