[Aku adalah buruh itu]
Aku adalah buruh itu
Satu dari semua pekerja
Yang bekerja untuk menghidupi keluarga
Tanpa memikirkan malu dan pilu
Aku adalah buruh itu
Berdiri tegak meski terpincang-pincang
Bekerja malam sampai siang
Demi mencukupi keluarga agar tak kelaparan
Aku adalah buruh itu
Keringat yang menetes di dada
Totalitas dalam bekerja
Bagaimanapun aku hidup dari sisa tenaga
Aku adalah buruh itu
Menyerahkan diri pada pabrik
Berharap ada sedikit lebih imbal balik
Meski kadang upah membuat hati tercabik
Aku adalah buruh itu
Menjerit yang tak pernah terdengar
Upah yang hanya sekedar ala kadar
Keuangan harus cukup terputar
Aku adalah buruh itu
Bekerja dengan ikhlas
Meski keringat harus terperas
Demi membeli seliter beras
Aku adalah buruh itu
Yang mengharapkan kesejahteraan
Demi keberlangsungan
Hidup yang aku jalankan
Aku adalah buruh itu
Kamu adalah buruh itu
Kita adalah buruh itu
Panjang umur perjuangan
Panjang umur hal-hal baik
Yang semoga tak terabaikan!!
SELAMAT HARI BURUH
1 MEI 2020
MayDay
[Siti Nur Afiah; Kabid Medkom periode 2019-2020]
Kamis, 30 April 2020
Rabu, 29 April 2020
Kopi bukan racun
Sejarah bermula, ketika ketidaksengajaan pengembala bernama Khalid, seorang Abyssinia ketika mengamati kawanan kambing gembalaannya yang tetap terjaga bahkan setelah matahari terbenam, setelah memakan sejenis buah beri.
Ia pun mencoba memasak dan memakannya. Kebiasaan ini kemudian terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Afrika, namun metode penyajiannya masih menggunakan metode konvensional.
Barulah beberapa ratus tahun kemudian, biji kopi ini dibawa melewati laut merah dan tiba di Arab dengan metode penyajian yang lebih maju.
Bangsa Arab yang memiliki peradaban yang lebig maju dari pada bangsa Afrika saat itu, tidak hanya memasak biji kopi, tetapi juga direbus untuk mengambil sarinya.
Pada abad ke13, umat muslim banyak mengkonsumsi kopi sebagai minuman penambah energi saat beribadah dimalam hari.
Kepopuleran kopi pun turut meningkat seiring dengan penyebaran agama Islam pada saat itu hingga mencapai daerah Afrika Utara, Mediterania dan India. Biji kopi dibawa masuk pertama kali le Eropa secara resmi pada tahun 1615 oleh saudagar Venesia.
Ia mendapat pasokan bini kopi dari orang Turki, namun jumlah ini tidaklah mencukupi kebutuhan pasar. Oleh karena itu, bangsa eropa mulai membudidayakannya.
Akhirnya tersebarlah ke Asia, sehingga kita dapat menikmatinya disela-sela pekerjaan, seraya bercengkrama, ataupun mengisi kesendirian.
Namun sebelum itu kopi sempat dilarang dibeberapa negara. Pada tahun 1511, kopi pertama kali dilarang di Makkah karena para ulama menganggap bahwa kopi dapat merangsang pikiran-pikiran radikal.
Warga di Italia dan Turki juga sempat percaya bahwa kopi merupakan minuman yang menyesatkan. Bahkan pada abad 17, raja Murad IV dari dimasti ottoman menetapkan hukuman keras bagi warganya yang mengkonsumsi kopi.
Padahal kopi tidak mengandung racun, hanya saja mengandung kafein dan saat melakukan aktivitas, otak akan menjadi aktif dan melepaskan neuron-neuron yang memproduksi adenosine. Secara otomatis, sistem saraf anda akan memonitori kadar adenosine dan kafein tersebut.
Referensi:
-The World Atlas of Coffee: from Beans to Brewing (James Hoffman)
-Uncommon Grounds (Mark Pendergres)
-https://id.m.wikipedia.org/wiki/sejarah_kopi
Alby Maulana
KABID ORGANISASI PERIODE 2019-2020
Sejarah bermula, ketika ketidaksengajaan pengembala bernama Khalid, seorang Abyssinia ketika mengamati kawanan kambing gembalaannya yang tetap terjaga bahkan setelah matahari terbenam, setelah memakan sejenis buah beri.
Ia pun mencoba memasak dan memakannya. Kebiasaan ini kemudian terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Afrika, namun metode penyajiannya masih menggunakan metode konvensional.
Barulah beberapa ratus tahun kemudian, biji kopi ini dibawa melewati laut merah dan tiba di Arab dengan metode penyajian yang lebih maju.
Bangsa Arab yang memiliki peradaban yang lebig maju dari pada bangsa Afrika saat itu, tidak hanya memasak biji kopi, tetapi juga direbus untuk mengambil sarinya.
Pada abad ke13, umat muslim banyak mengkonsumsi kopi sebagai minuman penambah energi saat beribadah dimalam hari.
Kepopuleran kopi pun turut meningkat seiring dengan penyebaran agama Islam pada saat itu hingga mencapai daerah Afrika Utara, Mediterania dan India. Biji kopi dibawa masuk pertama kali le Eropa secara resmi pada tahun 1615 oleh saudagar Venesia.
Ia mendapat pasokan bini kopi dari orang Turki, namun jumlah ini tidaklah mencukupi kebutuhan pasar. Oleh karena itu, bangsa eropa mulai membudidayakannya.
Akhirnya tersebarlah ke Asia, sehingga kita dapat menikmatinya disela-sela pekerjaan, seraya bercengkrama, ataupun mengisi kesendirian.
Namun sebelum itu kopi sempat dilarang dibeberapa negara. Pada tahun 1511, kopi pertama kali dilarang di Makkah karena para ulama menganggap bahwa kopi dapat merangsang pikiran-pikiran radikal.
Warga di Italia dan Turki juga sempat percaya bahwa kopi merupakan minuman yang menyesatkan. Bahkan pada abad 17, raja Murad IV dari dimasti ottoman menetapkan hukuman keras bagi warganya yang mengkonsumsi kopi.
Padahal kopi tidak mengandung racun, hanya saja mengandung kafein dan saat melakukan aktivitas, otak akan menjadi aktif dan melepaskan neuron-neuron yang memproduksi adenosine. Secara otomatis, sistem saraf anda akan memonitori kadar adenosine dan kafein tersebut.
Referensi:
-The World Atlas of Coffee: from Beans to Brewing (James Hoffman)
-Uncommon Grounds (Mark Pendergres)
-https://id.m.wikipedia.org/wiki/sejarah_kopi
Alby Maulana
KABID ORGANISASI PERIODE 2019-2020
Jumat, 24 April 2020
*Suri Tauladan, Pribadi Luar Biasa : Buya Hamka Kecil*
Dalam usaha menjadikan diri menjadi pribadi yang luar biasa tentunya kita memiliki sosok seseorang atau tokoh yang kita jadikan sebagai suri tauladan kita sebagai cerminan dalam usaha mengubah diri menjadi pribadi yang baik.
Siapa yang tak kenal Buya Hamka? Sosok tokoh yang sangat menginsipirasi bagi kaum pemuda Indonesia, yang namanya selalu dikenang dari karya-karya dan kebaikan-kebaikannya.
*Kisah Buya HAMKA kecil*
Belajar dari sosok Buya Hamka, beliau adalah seorang muslim hebat yang luar biasa yang imannya dan taqwanya hanya untuk Allah semata, sosok seorang muslim yang murah hati dan mudah memaafkan.
Buya HAMKA yang nama aslinya adalah Abdul Malik. Beliau dilahirkan di Desa Kampung Molek Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 anak dari seorang tokoh dan pelopor dalam gerakan pembaharuan (tajdid) yaitu Dr. Abdul Karim Amrullah.
Masa kecil Buya Hamka banyak dihabiskan di Maninjau di bawah asuhan ayah dan ibunya serta mendapatkan pendidikan keagaaman dari surau di Maninjau. Surau menjadi saran yang efektif sebagai pembentuk akal budi Buya Hamka sebagai “buku terbuka”.
Di masa kecil ia juga belajar berpidato di surau. Buku pertamanya, Khatibul Ummah, ditulis dari materi-materi khotbah teman-temannya yang ia catat dan ia rapikan. Waktu itu usianya masih belasan. Terlihat potensi menulisnya di usia ini. Ketika dewasa hingga wafatnya pada 24 juli 1981 dalam usia 73 tahun, buku-bukunya tidak terlepas dari pengalaman pertamanya tersebut.
Pada usia Buya Hamka 4 tahun orangtuanya pindah ke padang sehingga Buya Hamka dan kedua adiknya tinggal bersama neneknya. Dari neneknya Buya Hamka sering mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam minangkabau. Bersama teman-teman sebaya Buya Hamka menghabiskan waktu bermain di Danau Maninjau. Mengikuti tradisi anak laki-laki di Minangkabau, Buya Hamka belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal.
Pada usia 7 tahun Buya Hamka mulai belajar di Sekolah Desa. Sekolah desa yang lokasinya bekas tangsi militer di Guguk Malintang. Lingkungan yang kurang baik di lokasi tersebut membuat Buya Hamka menjadi anak yang nakal karena sering terlibat dalam perkelahian antara murid kedua sekolah. Hingga akhirnya Buya Hamka pun dimasukan ke sekolah diniyah, yang di ikutinya setiap sore setelah belajar di sekolah desa. Setelah melewatkan tiga tahun belajar, pendidikannya terbengkalai saat ayahnya membawa Buya Hamka pulang ke Sungai Batang. Kemudian, tahun 1918 Buya Hamka dimasukkan ke Sumatera Thawalib oleh ayahnya sehingga ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa, Buya Hamka pun belajar di Sekolah Diniyah setiap pagi dan setiap sore ia belajar di Thawalib.
Saat usia Buya Hamka 12 tahun, Orang tuanya bercerai dan Buya Hamka dibawa oleh ayahnya tinggal di Padang Panjang. Hari pertama setelah perceraian, Buya Hamka tak masuk sekolah dan menghabiskan waktu bepergian keliling kampung.
Sejak kecil Buya Hamka sudah memiliki jiwa yang besar. Ketika berjalan di pasar ia melihat orang buta yang sedang meminta sedekah. Buya Hamka merasa iba sehingga menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah sampai mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat bertemu Buya Hamka di pasar pada hari berikutnya, “Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu”. Dimarahi adalah salah satu hal yang tentunya tidak enak bagi seorang anak kecil.
Untuk bertemu dengan ibunya Buya Hamka pun pernah berjalan kaki menuju Maninjau yang jauhnya 40 km dari Padang Panjang untuk memenuhi kerinduan terhadap ibunya. Sehingga Buya Hamka meninggalkan sekolah selama 15 hari. Gurunya mengira Buya Hamka sakit kemudian datang ke rumah Buya Hamka dan menyampaikan ketidakhadirannya. Setelah ayahnya mengetahui bahwa Buya Hamka bolos. Ayahnya marah dan menampar Buya Hamka, tetapi segera memeluk dan meminta maaf kepada Buya Hamka.
Sejak kecil Buya Hamka sangat suka membaca buku sebab rasa ingin tahunya yang begitu besar. Setiap hari Buya Hamka datang ke Bibliotek tempat penyewaan buku milik Zainudin Labay El Yunusy. Karena hobinya yang begitu menyenangkan sampai ia kehabisan uang untuk menyewa buku, kemudian Buya Hamka pun menawarkan diri pada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku untuk bekerja disana. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan tersebut.
Permasalahan keluarga membuat Buya Hamka sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, dan menempuh perjalanan ke Maninjau mengujungi ibunya. Namun, ia merasa tidak mendapat perhatian sejak ibunya menikah lagi dengan seorang saudagar Aceh. Buya Hamka di landa kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibunya atau ayahnya.
Untuk mengobati hatinya, Buya Hamka bergaul dengan anak muda Maninjau. Ia pun turut belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, juga sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Seorang pamannya, Engku Muora, risau melihat Buya Hamka dan membawanya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, saat usia Buya Hamka 14 tahun untuk pertama kalinya ia hidup mandiri di Parabek.
Buya Hamka senang sekali mendengar pidato-pidato dari setiap penghulu. Dan kemudian Buya Hamka mulai mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi pidato adat. Demi mendalami minatnya. Ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru pidato adat. Kecendrungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, yaitu Datuk Indomo Kepada Buya Hamka.
Secara umum, masa kecil Buya Hamka banyak dihabiskan dengan pembelajaran informal dari ayahnya serta para ulama. Ia tidak menamatkan pendidikan formal, tetapi pengetahuannya terus berkembang berkat semangat belajar autodidak dari berbagai tokoh. Buya Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa arab. Pengalaman belajar dari tokoh-tokoh terkenal, seperti Syekh Ahmad Rasyid, AR. Sutan Mansur, R.M. Suryopratono, dan Ki Bagus Hadikusumo selanjutnya membentuk corak pemikirannya yang terbuka, tetapi tetap membawa pembaruan.
Dari kisah Buya Hamka di atas mengajarkan kita, bahwa diri kita harus terus belajar dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Dan menjadikan diri kita seseorang yang terus haus akan ilmu dan tidak puas dengan satu ilmu sehingga diri terus mencari tahu apa yang belum diketahui. Semangatnya dalam belajar sangat mengispirasi kita kaum pemuda untuk terus berusaha menjadikan diri di penuhi pengetahuan, dan tak mudah putus asa meski banyak ujian yang menerpa dalam kehidupan. Dan mengajarkan kita bahwa belajar dapat dimanapun dan dengan siapapun. Sebab tidak ada yang dapat mengubah diri kita menjadi lebih baik lagi selain diri kita sendiri.
Semoga bermanfaat
Alya Regina
(Sekretaris Umum PK IMM FAI Kota Tangerang Periode 2019-2020)
Referensi :
Syukur, Yanuardi dan Arlen Ara Guci. 2017. BUYA HAMKA :Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama. Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Dalam usaha menjadikan diri menjadi pribadi yang luar biasa tentunya kita memiliki sosok seseorang atau tokoh yang kita jadikan sebagai suri tauladan kita sebagai cerminan dalam usaha mengubah diri menjadi pribadi yang baik.
Siapa yang tak kenal Buya Hamka? Sosok tokoh yang sangat menginsipirasi bagi kaum pemuda Indonesia, yang namanya selalu dikenang dari karya-karya dan kebaikan-kebaikannya.
*Kisah Buya HAMKA kecil*
Belajar dari sosok Buya Hamka, beliau adalah seorang muslim hebat yang luar biasa yang imannya dan taqwanya hanya untuk Allah semata, sosok seorang muslim yang murah hati dan mudah memaafkan.
Buya HAMKA yang nama aslinya adalah Abdul Malik. Beliau dilahirkan di Desa Kampung Molek Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 anak dari seorang tokoh dan pelopor dalam gerakan pembaharuan (tajdid) yaitu Dr. Abdul Karim Amrullah.
Masa kecil Buya Hamka banyak dihabiskan di Maninjau di bawah asuhan ayah dan ibunya serta mendapatkan pendidikan keagaaman dari surau di Maninjau. Surau menjadi saran yang efektif sebagai pembentuk akal budi Buya Hamka sebagai “buku terbuka”.
Di masa kecil ia juga belajar berpidato di surau. Buku pertamanya, Khatibul Ummah, ditulis dari materi-materi khotbah teman-temannya yang ia catat dan ia rapikan. Waktu itu usianya masih belasan. Terlihat potensi menulisnya di usia ini. Ketika dewasa hingga wafatnya pada 24 juli 1981 dalam usia 73 tahun, buku-bukunya tidak terlepas dari pengalaman pertamanya tersebut.
Pada usia Buya Hamka 4 tahun orangtuanya pindah ke padang sehingga Buya Hamka dan kedua adiknya tinggal bersama neneknya. Dari neneknya Buya Hamka sering mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam minangkabau. Bersama teman-teman sebaya Buya Hamka menghabiskan waktu bermain di Danau Maninjau. Mengikuti tradisi anak laki-laki di Minangkabau, Buya Hamka belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal.
Pada usia 7 tahun Buya Hamka mulai belajar di Sekolah Desa. Sekolah desa yang lokasinya bekas tangsi militer di Guguk Malintang. Lingkungan yang kurang baik di lokasi tersebut membuat Buya Hamka menjadi anak yang nakal karena sering terlibat dalam perkelahian antara murid kedua sekolah. Hingga akhirnya Buya Hamka pun dimasukan ke sekolah diniyah, yang di ikutinya setiap sore setelah belajar di sekolah desa. Setelah melewatkan tiga tahun belajar, pendidikannya terbengkalai saat ayahnya membawa Buya Hamka pulang ke Sungai Batang. Kemudian, tahun 1918 Buya Hamka dimasukkan ke Sumatera Thawalib oleh ayahnya sehingga ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa, Buya Hamka pun belajar di Sekolah Diniyah setiap pagi dan setiap sore ia belajar di Thawalib.
Saat usia Buya Hamka 12 tahun, Orang tuanya bercerai dan Buya Hamka dibawa oleh ayahnya tinggal di Padang Panjang. Hari pertama setelah perceraian, Buya Hamka tak masuk sekolah dan menghabiskan waktu bepergian keliling kampung.
Sejak kecil Buya Hamka sudah memiliki jiwa yang besar. Ketika berjalan di pasar ia melihat orang buta yang sedang meminta sedekah. Buya Hamka merasa iba sehingga menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah sampai mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat bertemu Buya Hamka di pasar pada hari berikutnya, “Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu”. Dimarahi adalah salah satu hal yang tentunya tidak enak bagi seorang anak kecil.
Untuk bertemu dengan ibunya Buya Hamka pun pernah berjalan kaki menuju Maninjau yang jauhnya 40 km dari Padang Panjang untuk memenuhi kerinduan terhadap ibunya. Sehingga Buya Hamka meninggalkan sekolah selama 15 hari. Gurunya mengira Buya Hamka sakit kemudian datang ke rumah Buya Hamka dan menyampaikan ketidakhadirannya. Setelah ayahnya mengetahui bahwa Buya Hamka bolos. Ayahnya marah dan menampar Buya Hamka, tetapi segera memeluk dan meminta maaf kepada Buya Hamka.
Sejak kecil Buya Hamka sangat suka membaca buku sebab rasa ingin tahunya yang begitu besar. Setiap hari Buya Hamka datang ke Bibliotek tempat penyewaan buku milik Zainudin Labay El Yunusy. Karena hobinya yang begitu menyenangkan sampai ia kehabisan uang untuk menyewa buku, kemudian Buya Hamka pun menawarkan diri pada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku untuk bekerja disana. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan tersebut.
Permasalahan keluarga membuat Buya Hamka sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, dan menempuh perjalanan ke Maninjau mengujungi ibunya. Namun, ia merasa tidak mendapat perhatian sejak ibunya menikah lagi dengan seorang saudagar Aceh. Buya Hamka di landa kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibunya atau ayahnya.
Untuk mengobati hatinya, Buya Hamka bergaul dengan anak muda Maninjau. Ia pun turut belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, juga sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Seorang pamannya, Engku Muora, risau melihat Buya Hamka dan membawanya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, saat usia Buya Hamka 14 tahun untuk pertama kalinya ia hidup mandiri di Parabek.
Buya Hamka senang sekali mendengar pidato-pidato dari setiap penghulu. Dan kemudian Buya Hamka mulai mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi pidato adat. Demi mendalami minatnya. Ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru pidato adat. Kecendrungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, yaitu Datuk Indomo Kepada Buya Hamka.
Secara umum, masa kecil Buya Hamka banyak dihabiskan dengan pembelajaran informal dari ayahnya serta para ulama. Ia tidak menamatkan pendidikan formal, tetapi pengetahuannya terus berkembang berkat semangat belajar autodidak dari berbagai tokoh. Buya Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa arab. Pengalaman belajar dari tokoh-tokoh terkenal, seperti Syekh Ahmad Rasyid, AR. Sutan Mansur, R.M. Suryopratono, dan Ki Bagus Hadikusumo selanjutnya membentuk corak pemikirannya yang terbuka, tetapi tetap membawa pembaruan.
Dari kisah Buya Hamka di atas mengajarkan kita, bahwa diri kita harus terus belajar dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Dan menjadikan diri kita seseorang yang terus haus akan ilmu dan tidak puas dengan satu ilmu sehingga diri terus mencari tahu apa yang belum diketahui. Semangatnya dalam belajar sangat mengispirasi kita kaum pemuda untuk terus berusaha menjadikan diri di penuhi pengetahuan, dan tak mudah putus asa meski banyak ujian yang menerpa dalam kehidupan. Dan mengajarkan kita bahwa belajar dapat dimanapun dan dengan siapapun. Sebab tidak ada yang dapat mengubah diri kita menjadi lebih baik lagi selain diri kita sendiri.
Semoga bermanfaat
Alya Regina
(Sekretaris Umum PK IMM FAI Kota Tangerang Periode 2019-2020)
Referensi :
Syukur, Yanuardi dan Arlen Ara Guci. 2017. BUYA HAMKA :Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama. Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Selasa, 21 April 2020
*Habis Gelap Protes PLN*
Kita setara.
Kita semua setara, apalagi andil kita dalam berbuat baik. Total bertindak tanpa peduli jumlah like.
Jangan hitung apakah itu hal besar atau hal kecil, libatkan hati dan perasaanmu. Penjahat saja pamer aksi, masa niat baikmu malu???
Misalnya ajakan "ayo kurangin sampah plastik" atau "ayo hemat listrik" biar bumi kita tetap cantik. Mungkin ini bukanlah seruan yg nyentrik. Tapi masalah ini abadi dan klasik.
Cabut charger bila sudah tak dipakai. Matikan lampu disiang hari, buka jendal biar angin sepoy" kaya dipantai.
Tak perlu terlalu lama mengutuk gelap. Tak guna juga menyalakan lilin. Emang mau ngepet? Awas nanti ketangkap!
Yg perlu kita ketahui...
Lawan gelap dalam hati...
Nyalakan api, satukan nyali...
Atas apa yg kita perbuat dibumi...
Kita mau jawab apa nanti???
[Kabid Organisasi periode 2019-2020]
-Alby Maulana
Kita setara.
Kita semua setara, apalagi andil kita dalam berbuat baik. Total bertindak tanpa peduli jumlah like.
Jangan hitung apakah itu hal besar atau hal kecil, libatkan hati dan perasaanmu. Penjahat saja pamer aksi, masa niat baikmu malu???
Misalnya ajakan "ayo kurangin sampah plastik" atau "ayo hemat listrik" biar bumi kita tetap cantik. Mungkin ini bukanlah seruan yg nyentrik. Tapi masalah ini abadi dan klasik.
Cabut charger bila sudah tak dipakai. Matikan lampu disiang hari, buka jendal biar angin sepoy" kaya dipantai.
Tak perlu terlalu lama mengutuk gelap. Tak guna juga menyalakan lilin. Emang mau ngepet? Awas nanti ketangkap!
Yg perlu kita ketahui...
Lawan gelap dalam hati...
Nyalakan api, satukan nyali...
Atas apa yg kita perbuat dibumi...
Kita mau jawab apa nanti???
[Kabid Organisasi periode 2019-2020]
-Alby Maulana
[Ibu]
Ibu bilang;
Harus tetap berdiri walau satu kaki
Ntah, dorongan mana yang selalu menguatkan;
Hatinya.
Dalam binaran airmata
Yang berkaca-kaca
Tanpa keluhan meski lelah
Yang tetap sabar tanpa sadar
Selalu menjadi alasan;
Tempat berpulang kerumah adalah kenyamanan
Jongkok menghadap hau
Rambutnya dipenuhi debu
Menunggu air panas yang mendidih
Katanya; untuk masak air kopi
Menyuguhkan ku setiap pagi
Aku mengikat rambutnya;
Karena keringat membasahi pipinya
Ternyata; itu air mata yang mengalir
Ibu melihatku dalam senyum getir
Sambil gemetar
Memegang tanganku sambil berkata beberapa gelintir
Katanya; kita tak punya lauk untuk makan hari ini;
Selain nasi
Aku menangis bukan karena tak ada lauk
Menangis rasanya ingin memeluk
Aku bisa saja menahan lapar
Rasanya kata-kata ibu begitu menampar
Menampar diriku sendiri
Sebagai anak tak bisa berbuat apa-apa
Selain menyusahkan ibu, lagi-lagi
Ibu tak pernah menjadikan ku pecundang
Meski kadang aku lancang
Kata-katanya tak pernah menyakiti
Selalu hangat dan lembut
Untuk menasihati
Selalu hati-hati
[Kabid Medkom periode 2019-2020]
-Siti Nur Afiah
Ibu bilang;
Harus tetap berdiri walau satu kaki
Ntah, dorongan mana yang selalu menguatkan;
Hatinya.
Dalam binaran airmata
Yang berkaca-kaca
Tanpa keluhan meski lelah
Yang tetap sabar tanpa sadar
Selalu menjadi alasan;
Tempat berpulang kerumah adalah kenyamanan
Jongkok menghadap hau
Rambutnya dipenuhi debu
Menunggu air panas yang mendidih
Katanya; untuk masak air kopi
Menyuguhkan ku setiap pagi
Aku mengikat rambutnya;
Karena keringat membasahi pipinya
Ternyata; itu air mata yang mengalir
Ibu melihatku dalam senyum getir
Sambil gemetar
Memegang tanganku sambil berkata beberapa gelintir
Katanya; kita tak punya lauk untuk makan hari ini;
Selain nasi
Aku menangis bukan karena tak ada lauk
Menangis rasanya ingin memeluk
Aku bisa saja menahan lapar
Rasanya kata-kata ibu begitu menampar
Menampar diriku sendiri
Sebagai anak tak bisa berbuat apa-apa
Selain menyusahkan ibu, lagi-lagi
Ibu tak pernah menjadikan ku pecundang
Meski kadang aku lancang
Kata-katanya tak pernah menyakiti
Selalu hangat dan lembut
Untuk menasihati
Selalu hati-hati
[Kabid Medkom periode 2019-2020]
-Siti Nur Afiah
Langganan:
Komentar (Atom)