Sabtu, 27 Mei 2017

BERKACA KEPEMIMPINAN DARI PERMATA ZAMAN

Bakda pelantikan lalu, kita sama-sama faham bahwa kedepannya amanah yang baru kan kita emban. Sebagai renungan, elok kiranya memerhatikan pesan permata zaman dalam soal teladan kepemimpinan. Generasi emas sekaligus awal dalam Islam misalnya, para Amirul mukminin. Amat jernih kata yang keluar dari lisan mereka hingga generasi setelahnya terus mendapat pelajaran dari gemilangnya kisah mereka.
Sungguh, orang yang jauh lebih mulia daripada kita semua, Abu Bakr Ash Shiddiq, pernah mengatakan, “Saya telah dipilih untuk memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Dan kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah.”
Penting memulai kepemimpinan dengan kesadaran bahwa kita bukanlah orang terbaik kala ditunjuk sebagai pemimpin. Rasa ini akan menundukkan diri untuk tak jumawa, haus ilmu, lapar umpan balik, tidak anti kritik dan senantiasa meminta pertolongan untuk bisa tetap berlaku baik. Sang empu tak kan malu jika harus turun ke bawah untuk menampung tiap saran dan aspirasi dari orang yang Allah berikan ilmu padanya. Sebagaimana Abu Bakar yang menghormati ilmu yang ada pada 'Umar, yaitu tatkala Abu Bakar menulis surat ketetapan yang ditujukan pada penanggungjawab Baitul Maal, 'Umar ibn Al Khaththab, untuk memberikan kedua pemuka dari Fazarah & Tamim hak harta sebagaimana yang mereka terima tatkala masih bersama Rasulullah.
Menerima surat itu, 'Umar membaca sejenak, memandang kedua pemimpin itu dengan tajam, lalu merobek nawala ketetapan Abu Bakar itu menjadi serpihan kecil. Kedua pemimpin itu terkejut dan saling pandang tak mengerti. "Pergi kalian", ujar 'Umar keras, "Tak ada lagi bagian dari Baitul Maal ini yang menjadi hak kalian." Tergopoh menghadap kembali pada Abu Bakar, mereka menggugat, "Kami tak mengerti. Sebenarnya yang jadi Khalifah itu engkau atau 'Umar? Kau memutuskan dan 'Umar membatalkan bahkan merobeknya." Mendengar itu Abu Bakar tertawa renyah. "'Umar adalah Khalifah", ujar beliau, "Pada kapanpun dia mau." Demikianlah setelah Iman, dalam Islam, ilmu menempati kedudukan begitu tinggi. Oleh karenanya Abu Bakar begitu menghormati 'Umar. Apatah lagi kita yang amat jauh dari Abu Bakar, pasti lah lebih memerlukan sosok-sosok ikhlas yang dapat memberi nasihat berdasar ilmu.
Zaman telah memilih kita sebagai pemimpin, tapi...
Tapi sungguh orang yang jauh lebih perkasa daripada kita semua, ‘Umar ibn Al Khaththab, pernah mengatakan, “Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya akan menjadi orang yang terbaik di antara kalian dalam memimpin kalian, orang yang terkuat bagi kalian dalam melayani keperluan-keperluan kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya sudi menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan.”
Selanjutnya, visi dalam berorganisasi menjadi sangat penting. 'Umar terdorong untuk menerima kepemimpinan karena memiliki keinginan yang menyala menjadi sebaik pemimpin, yang paling setia dalam melayani. Dan ini takkan terwujud manakala 'Umar sendiri tidak memiliki segudang konsep dan sistem. Lalu kejayaan demi kejayaan diraih hingga luas wilayah Islam seumpama 23 Negara, administrasi menjadi lebih rapi, pemerataan kesejahteraan, pemerintahan yang memanusiakan, bahkan paceklik luar biasa seperti Ramadhah pun bisa dilewati.
Sudahkah kita memiliki konsep berikut sistem?
Sebelum itu, kita perlu melakukan identifikasi lebih dulu tentang zaman yang kita tinggali sekarang, membaca apa tantangan zaman dan pekerjaan lanjutan dari kepemimpinan sebelumnya. Kemudian berlanjut kepada menempatkan ukuran-ukuran resiko; menempatkan alternatif; menganalisis setiap alternatif; memutuskan dan melaksanakan alternatif; mengontrolnya; serta mengevaluasinya.Ada yang perlu kita renungkan secara mendalam manakala beban amanah untuk mengisi intelektual mereka menjadi amanah dari kepemimpinan sebelumnya. Penulis mengatakan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari resiko kader yang keluar. Karena ini adalah dampak yang masih nampak dan masih bisa dilakukan antisipasi secepatnya. Tetapi takutlah kita pada dampak yang tak tertampak seperti tumpulnya kemampuan berpikir-analisa, senang dengan debat kusir, tidak menyenangi kultur diskusi, membaca dan menulis. Ada yang perlu kita renungkan kala memegang amanah ini.
Setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, maka sistem dan program zaman lalu bisa saja sangat tidak kompatibel dengan zaman ini.
'Umar lalu mencontohkan agar amanah diikuti kegentaran dalam hati, tentang beratnya tanggungjawab kelak ketika seluruh manusia ini berdiri di hadapan pengadilan Allah untuk menjadi penggugat dan kita adalah terdakwa tunggal bila tidak amanah, sedangkan entah ada atau tidak yang sudi jadi pembela.
Zaman telah memilih kita sebagai pemimpin, tapi...
Tapi orang yang jauh lebih dermawan daripada kita semua, ‘Utsman ibn ‘Affan, pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal, selain kitab Allah dan Sunnah Nabi; yaitu agar aku mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin sebelumku dalam hal-hal yang telah kalian sepakati sebagai kebaikan, membuat kebiasaan baru yang lebih baik lagi layak bagi ahli kebajikan, dan mencegah diriku bertindak atas kalian, kecuali dalam hal-hal yang kalian sendiri menyebabkannya.”
Seperti ‘Utsman, jadilah kita pemimpin yang terbuka dengan masukan-masukan, mempertahankan serta menciptakan kultur yang baik. Jadilah kita sebagai pelaksana ungkapan yang amat dikenal di kalangan Nahdlatul ‘Ulama, “Al Muhafazhatu ‘Alal Qadimish Shalih, wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah.. Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik."
Zaman telah memilih kita sebagai pemimpin, tapi...
Tapi orang yang lebih zuhud daripada kita semua, ‘Ali ibn Abi Thalib, pernah mengatakan, “Barangsiapa mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaknya dia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya sendiri dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lisannya. Orang yang menjadi pendidik bagi dirinya sendiri lebih patut dihormati ketimbang yang mengajari orang lain.”
Saudaraku, hal yang paling hilang dari bangsa dan ikatan ini selama beberapa dasawarsa yang kita lalui adalah keteladanan para pemimpin. Adik-adik, kawan, bahkan lawan kita semua rindu pada perilaku-perilaku luhur terpuji yang mengiringi tingginya kedudukan. Kita tahu setiap manusia punya keterbatasan, tapi percayalah, satu tindakan adil seorang pemimpin bisa memberi rasa aman pada berjuta hati, satu ucapan jujur seorang pemimpin bisa memberi ketenangan pada berjuta jiwa, satu gaya hidup sederhana seorang pemimpin bisa menggerakkan berjuta manusia. Menjadi pemimpin berarti menempuh jalan ilmu. Mari mendidik diri lebih dalam lagi pada belajar, membaca, menulis dan berkarya.
Zaman telah memilih kita sebagai pemimpin, tapi...
Tapi sebagai penutup tulisan ini, mari mengenang ketika Khalifah dalam periode lain yang turut dinominasi sebagai amirul mukminin bersebab keadilannya, ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz meminta nasehat kepada Imam Hasan Al Bashri terkait amanah yang baru diembannya. Maka Sang Imam menulis sebuah surat ringkas. Pesan yang disampaikannya, ingin juga penulis sampaikan di sini, Bunyi nasehat itu adalah, “Amma bakdu. Durhakailah hawa nafsumu! Wassalam.”
#PKIMMFAI
#BIDANGHIKMAH
#SALAMFASKHO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar